Membina Pendidikan Sejati
Dari Kelemahan Sampai Kekuatan
Tidak ada riwayat hidup dari antara murid-murid itu yang menggambarkan dengan lebih baik metode pendidikan Kristus selain daripada riwayat hidup Petrus. Sifat yang pemberani, agresif, dan yakin akan diri sendiri, cepat melihat dan bertindak, segera membalas namun murah hati dalam mengampuni, Petrus kerap kali berbuat salah dan sering menerima teguran. Kesetiaannya yang hangat dan pengabdiannya kepada Kristus tidak kurang diakui dan terpuji. Dengan sabar, dengan kasih yang tidak memandang muka, Juruselamat menghadapi murid-Nya yang tidak sabaran itu, berusaha mengurangi keyakinan dirinya, dan mengajari dia kerendahan hati, penurutan dan kepercayaan. MPS 79.1
Tetapi hanya sebagian dari pelajaran itu yang dipelajari. Rasa kemampuan diri belum tercabut. MPS 79.2
Karena beban berat yang menimpa hati-Nya sendiri, sering Yesus berusaha bentangkan kepada murid-murid itu pemandangan mengenai kesukaran dan penderitaan-Nya. Tetapi mata mereka tidak melihat. Pengetahuan itu tidak diterima, dan mereka tidak melihat. Rasa iba pada diri sendiri, yang menjauhkan diri dari persekutuan dengan Kristus dalam penderitaan, mendorong protes Petrus, “...Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau” (Matius 16:22). Perkataannya mengungkapkan pikiran dan perasaan keduabelas murid itu. MPS 79.3
Begitulah mereka terus, pada hal krisis semakin dekat; mereka, dengan penuh kesombongan, suka bertengkar, mengharapkan pembagian kehormatan besar, dan tidak memimpikan salib. MPS 79.4
Bagi mereka semuanya, pengalaman Petrus mengandung suatu pelajaran. Untuk sifat percaya diri, pencobaan adalah kekalahan. Hasil pekerjaan jahat yang pasti masih belum ditinggalkan, tidak dapat Kristus cegah. Tetapi sebagaimana tangan-Nya diulurkan untuk menyelamatkan ketika gelombang akan menelan Petrus, begitulah kasihNya menjangkau untuk menyelamatkannya ketika air yang dalam hendak menenggelamkan jiwanya. Berulang-ulangkali, di tepi jurang kehancuran, kata-kata Petrus yang penuh keangkuhan membawanya semakin lama semakin dekat ke tepi. Berulang-ulang amaran diberikan, “Engkau... menyangkal bahwa engkau mengenal Aku” (Lukas 22:34). Itu adalah hati sedih yang mengasihi dari murid yang bersumpah, “Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau” (Lukas 22:33); dan Ia yang membaca hati memberi Petrus pekabaran, yang sedikit dinilai pada waktu itu, tetapi dalam kegelapan yang cepat menimpa akan menyinarkan sinar pengharapan, “Simon, Simon, lihat Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudarasaudaramu” (Lukas 22:31, 32). MPS 79.5
Ketika di ruang pengadilan kata-kata penyangkalan telah diucapkan; ketika kasih dan kesetiaan Petrus, yang bangkitkan di bawah tatapan iba dan kasih serta kesedihan Juruselamat. Itulah yang menyuruhnya kembali ke taman di mana Kristus menangis dan berdoa; ketika air mata penyesalannya menetes di atas tanah yang tadinya telah basah dengan tetes-tetes darah penderitaan-Nya—maka kata-kata Juruselamat, “Aku telah berdoa untuk engkau.... Jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu,” merupakan suatu ketenangan bagi jiwanya. Kristus, walaupun melihat lebih dulu akan dosanya, tidak meninggalkannya dalam keadaan putus asa. MPS 80.1
Jika tatapan yang Yesus tujukan padanya mengandung tuduhan gantinya rasa pengasihan; jika dalam memberitahukan lebih dulu mengenai dosa itu Ia gagal untuk mengucapkan pengharapan, betapa pekatnya kegelapan yang meliputi Petrus! Betapa kejamnya keputusasaan jiwanya yang tersiksa itu! Pada saat kesengsaraan dan kenajisan diri, apakah yang dapat menahan dia dari jalan yang ditempuh Yudas? MPS 80.2
Ia yang tidak dapat mencegah murid-Nya menderita sengsara, tidak membiarkannya sendirian dalam kekalutannya. Kasih-Nya tidak akan gagal atau menelantarkan. MPS 80.3
Manusia sendiri yang menyerah pada kejahatan, cenderung untuk berlaku tidak ramah pada orang yang ditimpa pencobaan dan bersalah. Mereka tidak dapat membaca hati, mereka tidak mengetahui pergumulan dan rasa sakitnya. Tentang teguran yang merupakan kasih, tentang pukulan yang melukai yang akan sembuh, tentang amaran yang memberi harapan, mereka perlu belajar. MPS 80.4
Bukanlah Yohanes, orang yang melihat Dia di ruang pengadilan, yang berdiri di samping salib-Nya, dan yang di antara keduabelas murid itu yang pertama-tama berada di kubur—bukanlah Yohanes, melainkan Petruslah, yang disebut Kristus setelah kebangkitan-Nya, “...Katakanlah kepada murid-murid-Nya dan kepada Petrus,” kata malaikat itu, “Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia...” (Markus 16:7). MPS 80.5
Pada pertemuan terakhir Kristus dengan murid-murid di tepi pantai, Petrus diuji oleh tiga kali pertanyaan yang diberikan, “...Apakah engkau mengasihi Aku?” kemudian dipulihkan ke tempatnya di antara keduabelas murid itu. Pekerjaan Tuhan menetapkanya; ia harus menggembalakan kawanan domba Tuhan. Kemudian, sebagai pengarahan pribadi-Nya yang terakhir, Yesus memanggilnya, “...Ikutlah Aku” (Yohanes 21:17, 22). MPS 81.1
Sekarang ia dapat menghargai kata-kata itu. Pelajaran yang diberikan Kristus ketika Ia memangku seorang anak kecil di tengah-tengah murid-murid itu dan meminta mereka menjadi seperti dia, sekarang Petrus dapat mengerti dengan lebih baik. Mengetahui dengan lebih lengkap, baik kelemahannya sendiri maupun kuasa Kristus, ia siap untuk percaya dan menurut. Dangan kekuatan-Nya ia dapat mengikuti Tuhannya. MPS 81.2
Dan pada akhir pengalaman kerja dan pengorbanannya, murid yang tadinya tidak siap untuk melihat salib itu, menganggap suatu kesukaan untuk menyerahkan nyawanya demi injil, hanya merasakan bahwa, baginya yang pernah menyangkal Tuhan, maka mati dengan cara yang sama seperti Tuhannya mati adalah suatu kehormatan yang begitu besar. MPS 81.3
Mukjizat kelemahlembutan ilahi adalah perubahan Petrus. Itu merupakan suatu pelajaran hidup bagi semua orang yang berusaha mengikuti jejak Guru Besar itu. MPS 81.4