Karunia Nubuat Dalam Alkitab Dan Sejarah

9/291

3. Seorang Nabi adalah Pemberita Firman Ilahi

Para nabi sering menggunakan formula khusus: “Beginilah Firman Tuhan” (Yes. 45: 1; 49: 8; Yer. 18: 13; 29: 10); “Berfirmanlah Tuhan kepadaku” (Yes. 8: 1; Hos. 3: 1) ; “Beginilah Firman Tuhan kepadaku ....” (Yes. 8: 11, NKJV) ; “Beginilah firman Tuhan Allah” (Yeh. 6:11; 7:5; Oh. 1); “Firman Tuhan datang kepadaku” (Yer. 1:4, 13; 2: 1; Yeh. 6: 1) (Yer. 3:20; 4: 1; 8: 1; Hag. 1: 13); “Firman Tuhan datang ke [diikuti nama nabi tertentu]” (1 Raj. 16: 1; Hos. 1: 1; Yl. 1: 1; Yun. 1: 1; Mi. 1: 1; Zef. 1: 1; Za. 1: 1) ; “Atas perintah Tuhan datanglah seorang abdi Allah” (1 Raj. 13:1); dll. Para nabi memberitakan Firman Allah, karena Allah menyatakannya kepada mereka (Amos 7: 15, 16) . Fakta wahyu Allah ini memberi mereka otoritas tertinggi. 26 Rahasia-rahasia Allah (sod) diungkapkan kepada mereka (Amos 3: 7; Kej. 18: 17) ; mereka melihat Allah dan mengadakan pertemuan pribadi dengan-Nya (1 Raj. 17:2; 18:15; Yes. 6:1—9; Yer. 1:4—10; Yeh. 1: 28; Dan. 7: 9, 10, 13, 14; Amos 9: 1). Mereka adalah pembicara-Nya; mereka berbicara atas nama Allah kepada umat-Nya dan kadang-kadang bahkan kepada bangsa-bangsa lain (lihat nubuatan para nabi terhadap bangsa-bangsa asing dalam Yesaya 13—23; Yeremia 46—51; Yehezkiel 25—32; Amos 1; 2; atau misi Yunus ke Niniwe—Yunus 4; lihat juga perjalanan Seraya ke Babel dengan pesan dari Yeremia dalam Yeremia 51: 59-64). Mereka adalah pelayan Firman Allah. 27 KN 22.1

Melalui para nabi, Allah yang tidak kelihatan menjadi dapat didengar. Para nabi menjadikan kehadiran Allah lebih nyata; mereka menyatakan bahwa mereka ada di hadirat Allah. Samuel Meier menyatakan bahwa “hanya nabi yang pernah menyatakan bahwa ia berdiri di hadirat Allah.” 28 Abraham Heschel mengamati bahwa tugas nabi adalah membawa orang ke hadirat Allah. Mereka “tidak bisa menggunakan bahasa esensi; mereka harus menggunakan bahasa kehadiran. Mereka tidak mencoba menggambarkan-Nya; mereka mencoba menghadirkan-Nya, membuat-Nya hadir. Dalam upaya semacam itu, hanya kata-kata keagungan dan intensitas, bukan abstraksi, yang dapat menolong.” 29 KN 23.1

Otoritas seorang nabi berasal dari Allah, wahyu-Nya, dan Firman-Nya. Jabatan kenabian tidak dibeli atau diwariskan, tetapi diberikan dari surga. Jika seorang nabi dipanggil oleh Allah, ia memiliki wewenang—seperti yang dilakukan Musa-dan mengucapkan Firman Allah yang perlu dituruti. Ketika seorang nabi berbicara, itu seperti Allah yang akan berbicara, karena nabi itu menyampaikan Firman-Nya dan bukan perkataannya sendiri (lihat 2 Petrus 1: 19-21). Ulangan 18: 17-19 memberikan alasan seorang nabi memiliki wewenang dan harus sangat dihormati: “Tuhan berfirman kepadaku: Apa yang mereka katakan itu baik. Aku akan membangkitkan bagi mereka seorang nabi seperti kamu dari antara orang-orang Israel, dan Aku akan menaruh FirmanKu di mulutnya. Nabi itu akan memberitahukan kepada mereka semua yang Aku perintahkan kepadanya. Aku sendiri akan meminta pertanggungjawaban siapa pun yang tidak mendengarkan Firman-Ku bahwa nabi berbicara atas nama-Ku.’” Grudem dengan benar menyatakan bahwa kata-kata seorang nabi memiliki wewenang tertinggi:” Kita dapat sepenuhnya memercayai kata-kata dari Kitab Suci Perjanjian Lama, dan (kapan pun perintahnya berlaku untuk kita masa ini) kita harus sepenuhnya mematuhi perintahnya, karena itu adalah perintah dari Allah.” 30 KN 23.2

Proklamasi Firman Tuhan sangat penting karena memberikan kontrol terhadap karunia nubuat. Ortodoksi dan keaslian nabi dapat ditegakkan dan dikonfirmasi dengan menguji perkataannya (Yes. 8: 19, 20). Itu memberi kese-imbangan spiritual dan visioner nabi, karena siapa pun dapat mengklaim bahwa Allah menyatakan diri-Nya kepadanya atau bahwa Allah berbicara kepadanya. Kata-kata nabi adalah sesuatu yang nyata yang dapat dievaluasi dan dinilai jika itu selaras dengan arahan wahyu Allah sebelumnya, atau jika bertentangan dengan maksud dan tujuan aslinya. KN 23.3

Kebenaran yang dibutuhkan dari pekabaran dan kredibilitas nabi dijelaskan dalam Ulangan 13: 14: “Apabila di tengah-tengahmu muncul seorang nabi atau seorang pemimpi, dan ia memberitahukan kepadamu suatu tanda atau mukjizat,dan apabila tanda atau mukjizat yang dikatakannya kepadamu itu terjadi, dan ia membujuk: Mari kita mengikuti allah lain (allah yang tidak kaukenal), dan mari kita berbakti kepadanya, maka janganlah engkau mendengarkan perkataan nabi atau pemimpi itu; sebab Tuhan, Aliahmu, mencoba kamu untuk mengetahui, apakah kamu sungguh-sungguh mengasihi-Nya dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu. Tuhan, Aliahmu, harus kamu ikuti, kamu harus takut akan Dia, kamu harus berpegang pada perintah-Nya, suara-Nya harus kamu dengarkan, kepada-Nya harus kamu berbakti dan berpaut.” KN 24.1

Adalah penting untuk menyadari bahwa bahkan nabi-nabi palsu pun dapat melakukan mukjizat, dan para nabi dengan keajaiban dapat menyesatkan. Perbuatan yang hebat dan mukjizat bukanlah bukti dari kepercayaan dan keaslian nubuat atau ajaran nabi. “Satu kemustahilan bagi nabi alkitabiah yang sejati, bahwa dia akan menyampaikan pesan apa pun yang mempromosikan dewa-dewa lain dan penyembahan mereka.” 31 “Tanda-tanda atau keajaiban-keajaiban yang dilakukan nabi adalah kepentingan kedua dari pesan yang mereka sertakan.” 32 “Seseorang belum tentu seorang nabi karena ia mampu menyatakan tanda atau keajaiban yang terjadi. Jika pekabaran yang disampaikan orang itu memanggil orang untuk taat kepada Allah Kitab Suci, hanya dengan demikian tanda atau keajaiban itu diakui sebagai sah.” 33 KN 24.2

Prinsipnya jelas: pekabaran nubuatan harus selaras dengan wahyu Allah sebelumnya dan hukum-Nya, dan pekabaran baru itu tidak dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dari apa yang diajarkan nabi-nabi lain. Bukan karunia Roh tetapi hanya buah Roh yang merupakan tanda-tanda kebenaran yang asli: “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mukjizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” (Matius 7:21—23). KN 24.3

Grudem berpendapat bahwa dalam Perjanjian Lama “ setiap nabi dihakimi atau dievaluasi, tetapi tidak demikian halnya berbagai bagian dari setiap nubuat.” 34 Itu berarti bahwa “ketika seorang nabi berbicara atas nama Tuhan, jika bahkan satu nubuat tidak menjadi kenyataan, ia adalah seorang nabi palsu (UI. 18: 22).” 35 Samuel dievaluasi sebagai pribadi dan pekabarannya secara keseluruhan (lihat 1 Sam. 3: 19; 9:6; juga Yer. 28:8, 9) dan menang (1 Sam. 2:30). Para nabi alkitabiah selalu sangat erat terkait dengan hukum Allah. Hukum (Taurat Ibrani, pengajaran, instruksi Allah) tidak dapat dipisahkan dari aktivitasnya. Semua yang dilakukan para nabi berakar kuat di dalam Taurat. Mereka dipanggil dan berkewajiban untuk meneruskan Firman Allah kepada orang-orang. Mereka menunjuk kembali ke hukum Allah. Dengan demikian, Pentateuch adalah fondasinya, di mana para nabi telah mendarah daging dan yang terhadapnya mereka merujuk. 36 KN 24.4

Transendensi Allah mencegah para nabi memanipulasi Allah atau mengubah pekabaran-Nya. Sebuah contoh peringatan adalah Nabi Bileam, yang hanya bisa mengucapkan nubuat yang asli (BU 22:35, 38; 23:11, 12, 25, 26; 24:12, 13) meski-pun ia berupaya melakukan yang sebaliknya (BU 24:1, 2). Dia mengucapkan berkat terindah kepada umat Allah (Bil 23: 18—24; 24:9) dan memproklamasikan nubuat mesianik (Bil 24: 17—19). Namun, ia menyimpang dari panggilannya, memberikan nasihat jahat, dan hidupnya berakhir dengan kematian yang kejam (BU 25: 1, 2; 31: 8, 16; Yos. 13:22; lih. 2 Ptr. 2:15; Why. 2:14). KN 25.1

Sangat menarik bahwa Allah bahkan dapat memberikan mimpi nubuatan kepada Firaun (Kej. 41: 1-40) atau Nebukadnezar (lihat Dan. 2 dan 4) , tetapi selalu penafsiran yang benar perlu disampaikan oleh hamba-hamba Allah (mis., Yusuf atau Daniel) sehingga pesan Ilahi tidak akan bercampur dan dibingungkan dengan sihir atau ramalan. Kata dan isi pekabaran Allah lebih penting daripada cara penyampaian. Juga simbol-simbol yang tidak biasa dalam penglihatan apokaliptik dari kitab-kitab nubuatan Yehezkiel, Daniel, dan Zakharia menuntut kerja kognitif menyeluruh untuk memahami makna pesan Perjanjian Lama. KN 25.2